Mohammad Efendi *)
Pernyataan Daniel M. Rasyid, pengamat pendidikan Surabaya, tentang model Unas Bahasa Indonesia bisa merusak kemampuan berbahasa siswa menarik untuk ditanggapi. Pernyataan tersebut muncul kisaran akhir tahun 2006. meski agal lama, namun hal tersebut tetap menarik untuk dijadikan bahan renungan. Terutama pada bulan-bulan ini, Unas dan Uasbn sedang berlangsung.
Menurut beliau, tes Unas, khususnya pelajaran Bahasa Indonesia, belum layak untuk disebut mewakili kemampuan berbahasa siswa secara menyeluruh. Karena model soalnya monoton pilihan ganda saja.
Saya teringat ucapan Shoim Anwar di sebuah training. Secara bergurau, sastrawan Surabaya ini mengomentari model soal pilihan ganda dan isian sebagai soal “eceran”. Mengapa? Karena jawabannya sedikit-sedikit, mirip orang mencicil kredit. Hingga kemampuan utuh peserta tak dapat diketahui.
Seperti yang kita ketahui, tes Unas yang selama ini diadakan, dilihat dari sudut pandang kebahasaan, hanya bermain pada sektor membaca dan menulis saja. Padahal, aspek-aspek kebahasaan itu ada empat: mendengar, berbicara, membaca, dan menulis. Oleh karena itu, representasi tes akhir yang baik adalah yang mampu mewadahi itu semua, bukan parsial.
Mungkin, alat tes yang tepat, yang dimaksudkan beliau adalah UKBI (Uji Kemampuan Berbahasa Indonesia). Sekedudukan dengan TOEFL (Test of English for Foreign Language), UKBI bertujuan mengetahui tingkat kemampuan berbahasa seseorang. UKBI sebagai sarana pengujian kemampuan berbahasa Indonesia, telah memperoleh pengukuhan Mendiknas dengan surat keputusan Mendiknas Nomor 152/U/2003. Hasil tesnya berupa pemeringkatan mulai dari tingkat istimewa sampai terbatas. Tingkatan ini disesuaikan dengan nilai yang diperoleh peserta.
Saya berkeyakinan, bahwa penguatan kebahasaan nasional bisa dimulai dengan memberikan porsi yang proporsional dalam kurikulum pendidikan. Selama ini, menurut saya, Bahasa Indonesia yang tersampaikan dalam jalur edukasi seolah-olah mengalami stagnasi. Tak ada kemajuan yang signifikan. Meski telah beberapa kali kurikulum berganti, termasuk kurikulum Bahasa Indonesia, tak ada beda menonjol aplikasinya di kelas antara kurikulum satu dengan lainnya. Seringkali roh pembelajaran yang diharapkan muncul malah mandeg pada proses pembelajaran di kelas. Ranah-ranah kemampuan berbahasa yang tercakup semuanya dalam pedoman materi, sering kali hanya muncul satu, atau dua saja. Dari empat kemampuan berbahasa: mendengar, berbicara, membaca, dan menulis, sering kali yang teropeni cuma membaca dan menulis saja.
Karakteristik pembelajaran Bahasa Indonesia, yang mengharuskan guru memberikan porsi seimbang pada masing-masing ranah dalam pembelajaran masih belum jalan. Padahal, ini telah disosialisasikan dalam pengenalan Kurikulum Bahasa Indonesia sistem KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pelajaran). Lebih-lebih jika sampai pada tataran evaluasi. Model ujian pencil and paper test (tes tulis) masih meraja. Dengan kondisi seperti ini, dapat dipastikan, betapa merananya ranah-ranah yang lain, yang tak dapat dinilai hanya dengan pencil and paper test.
Dengan kenyataan sedemikian itu, pantaslah kiranya bila selalu saja ada kesenjangan antara mutu ideal lulusan dengan kenyataan mutu yang dihasilkan. Ambil contoh, sejak kelas 6 SD sampai SMA, siswa telah mendapatkan materi pidato. Namun, apa kenyataannya? Hanya segelintir saja lulusan yang memenuhi harapan itu. Selebihnya, meski hanya sekadar maju ke depan panggung saja masih maju-mundur. Contoh lainnya, kemampuan menulis lulusan SMA kita. Kenyataan bahwa mereka telah menerima materi menulis (baik surat, laporan, cerita, sinopsis, karangan) di bangku belajar, seolah tak berbekas kala mereka disodori kertas untuk menghasilkan tulisan bermutu. Inilah gambaran umum ketidakberhasilan mesin pengajaran sekolah menerjemahkan kurikulum dalam pembelajaran.
Hingga, keidiealan kurikulum Bahasa Indonesia yang diharapkan mampu menerobos kesulitan-kesulitan siswa dalam berbahasa, tak terbukti di ujung akhir tahun pelajaran. Sedikit banyak, kegagalan ini merupakan sumbangsih orientasi tes akhir yang selalu berwujud tes tulis. Hingga, guna mengejar target nilai tinggi di Unas bahasa Indonesia, keterampilan berbicara dan mendengar tak terlatih dengan baik. Coba saja perhatikan aktivitas siswa kelas 3 SMP/SMA pada semester kedua. Siswa dijejali dengan prediksi soal-soal Unas. Kegiatan pembelajaran praktis hanya bertumpu pada latihan mengerjakan berbagai model soal. Aspek kreatif kebahasaan tak terurus.
Dalam skala luas dan berkelanjutan, ini akan berdampak buruk pada kualitas SDM Indonesia. Padahal, potensi bahasa Indonesia amatlah subur dalam blantika kebahasaan dunia. Coba kita lirik data pengguna bahasa-bahasa di dunia. Bahasa Indonesia (yang disebut Malay-Indonesian) menempati sepuluh besar. Bahkan melebihi bahasa bintang sepak bola Zinedin Zidan, Prancis. Secara berurutan, sepuluh besar itu adalah bahasa Mandarin (digunakan 1,075 miliar manusia), Inggris (524 juta), Hindustan (496 juta), Spanyol (425 juta), Rusia (275 juta), Arab (256 juta), Bengali (215 juta), Portugis (194 juta), Malay-Indonesian (176 juta), Prancis (129 juta). Dengan pengguna bahasa sebesar itu, sayang proses pendidikan hanya mampu menjadikan mereka berkemampuan bahasa pas-pasan, dan tak kreatif berbahasa.
Bisakah dijadikan jawaban, bila Unas Bahasa Indonesia digantikan UKBI? Di tengah pro kontra Unas yang masih kerap terdengar, ide ini boleh jadi menjadi satu alternatif. Bahkan boleh dikatakan, ini adalah tes yang ideal. Karena mengukur empat sektor kemampuan berbahasa siswa. Bahkan, selain jalan untuk membiasakan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar di dunia akademis, ini akan memperkuat identitas bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
Namun yang pasti, ada pertanyaan yang perlu mendapat jawaban “sudah” jika langkah ini diambil. Pertama, sudahkan siapkah perangkat pembelajarannya? Hingga saat ini, perangakat pembelajaran masih menjadi kendala di beberapa sekolah. Terutama sekolah-sekolah pinggiran. Padahal, ini amat urgen keberadaannya untuk menyukseskan belajar siswa. Pelajaran bahasa Indonesia, yang menaungi empat ranah kebahasaan, membutuhkan media-media pendukung pembelajaran.
Kedua, sudahkan alat tes memuat segenap Kompetensi Dasar yang dipelajari siswa? Saya pikir, suatu tantangan besar bagi pembuat alat tes jika ingin mengukur kemampuan mendengar, berbicara, membaca, dan menulis siswa. Tantangan ini berhubungan dengan kemampuan ia memformat alur tes yang memuat Kompetensi Dasar, sesuai kurikulum KTSP. Misalnya, pada tes mendengar, mereka harus menyiapkan materi (pengumuman, cerita rakyat, berita, dll.) untuk diperdengarkan kepada peserta tes. Pada materi berbicara, mereka meramu alur tes yang mengaruskan siswa menunjukkan kemampuan berbicaranya, semisal pidato, menanggapi persoalan aktual, bercerita, dll. Pada materi membaca, mereka menyiapkan banyak bahan bacaan: cerita, berita media cetak, iklan, poster, dll. Sedangkan saat sesi menulis, mereka menyiapkan psikologis siswa untuk menghasilkan cerita pengalaman, naskah pidato, puisi, atau lainnya.
Ketiga, cukupkah waktu yang ada? Saya yakin, tidak cukup 2 atau 3 hari jika ingin menguji kemampuan berbahasa siswa secara keseluruhan. Selain karena tes meliputi empat kemampuan berbahasa, Kompetensi Dasar yang dipelajari siswa, yang tentunya mesti diujikan pun banyak ragamnya.
Selain pilihan pertama di atas, dapat juga tes UKBI ini berdiri sendiri, terpisah dari Unas. Artinya, siswa SMP dan SMA yang hendak lulus dipersyaratkan mengikuti tes UKBI. Dengan demikian renik-renik yang berhubungan dengan penyiapan alat tes dapat dipangkas, karena penangung jawab kini berpindah pada Pusat Bahasa (Balai Bahasa) untuk membantu menyukseskan program ini.
Namun, adalah suatu kenaifan besar jika siswa diharuskan lulus tes Kemampuan Bahasa Indonesia, sedangkan gurunya tidak. Oleh karena itu urut-urutan yang adil adalah dimulai dari pengajarnya dulu. Dosen, serta guru di jenjang pendidikan tinggi, menengah, dan dasar mesti mengikuti tes ini lebih dulu. Dari sisi hukum, kiranya ini menjadi satu langkah taktis untuk mewujudkan implementasi Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2006 tentang Sistem Pendidikan nasional. Pasal 33, yang menjelaskan tentang bahasa pengantar pembelajaran menyebutkan bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar utama. Sedangkan bahasa lain, yaitu bahasa daerah dan asing digunakan secara situasional. Berpedoman pada aturan tersebut, tak ada kendala jika tes UKBI diselenggarakan bagi semua kalangan pendidik. Karena tentu harapan penggunaan bahasa Indonesia yang diharapkan oleh undang-undang tersebut bukan sekadar “asal bahasa Indonesia”, tapi bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dan tes UKBI, mendukung ketercapaian tujuan itu.
Setelah tahap pertama tadi terlaksana, baru berlanjut pada siswa. Pada tataran perguruan tinggi, UKBI dapat dijadikan sebagai salah satu syarat kelulusan. Mungkin kedudukannya hampir sama dengan TOEFL yang kini mulai menjadi salah satu syarat kelulusan di perguruan tinggi. Baru kemudian dipertimbangkan untuk diterapkan secara struktural di jenjang pendidikan dasar dan menengah. Demi suatu kebaikan, tak ada yang tak mungkin untuk dilakukan. Guna mewujudkannya, tinggal merangkai jejaring antara Pusat Bahasa (Balai Bahasa) dan Depdiknas (Dinas Pendidikan).
*)Guru SDBI Al Hikmah Full-day School Surabaya
efendialhikmah@yahoo.co.id
Selengkapnya......