Setiap tahun kita selalu memperingati hari Guru yang bertepatan tanggal 25 November. Selamat, saya ucapkan kepada segenap jajaran pendidik dan pengajar di seluruh Indonesia atas dedikasi dan pengabdiannya selama ini. Meskipun banyak permasalahan pelik selalu menghantam gejolak dan gairah seorang guru. Namun demikian niat dan tekat bulat mengalahkan itu semua. Guru selalu lumintu mendidik dan mengajari siswa agar mereka tidak bernasib sama seperti dirinya. Tak perlu mengomentari seluk beluk permasalahan seorang pendidik yang rumit, tetapi sejenak kita menengok kebelakang apa makna dari peringatan hari Guru dan esensi siapa yang disebut sebagai guru itu.
Keberadaan seorang guru di Indonesia sudah ada sejak zaman masa pra Aksara sampai sekarang. Guru pada masa pra aksara adalah seorang yang dianggap bisa mengendalikan alam dan kekuatannya. Maklum sebelum masa beragama di Indonesia, masyarakat percaya animism dan dinamisme. Kekuatan alam seperti angin, hujan, petir, atau gangguan hewan liar dan buas tidak sepenuhnya bisa ditangani oleh masyarakat masa pra Aksara. Mereka mencari perlindungan kepada seseorang yang dianggap memiliki kekuatan lebih untuk menghadapi semua ini. Seorang tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah guru yang sekaligus sebagai pemimpin atau ketua suku. Perkataan pemimpin/guru ini selalu diikuti dan dilaksanakan. Pemimpin ini tentu mengajari hal-hal yang berhubungan dengan permasalahan keseharian. Pemimpin ini sangat dihormati dan dihargai. Pemimpin ini dipilih karena kekuatannya, mengayomi, kepandaiannya, adil, dan tidak takut apapun.
Masa para aksara berakhir di Indonesia dengan datangnya pengaruh Hindu-Budha. Pengaruh Hindu-Budha ini menggeserkan posisi ketua suku yang sebelumnya sebagai pemimpin dan guru bagi lingkungannya menjadi hanya seorang raja saja atau kasta Kstria. Posisi guru diambil alih oleh seorang pendeta / pendande / rsi / sulinggih / empu dari kasta Brahmana. Posisi ini tergantikan karena mereka yang dikatakan guru harus menguasai segala ilmu pengetahuan terutama tentang agama. Guru pada masa ini memiliki siswa yang diasramakan. Alasannya adalah perlu konsentrasi untuk mengajarkan kepada siswa tentang semua ilmu pengetahuan. Oleh karena itu dibangunlah sebuah asrama yang biasanya digabungkan dengan bangunan candi. Guru mengajarkan semua ilmu yang dimilikinya antara lain ilmu tentang agama, bela diri, perang dan sopan santun. Ajaran terakhir ini merupakan letak dasar kepribadian bangsa ini. Kepada yang lebih tua harus menghomati, dan kepada guru maupun orang tua harus lebih dihormati.
Pada abad 9 Masehi, Indonesia memasuki masa pengaruh Islam. Kedatangan Islam merubah tatanan social politik kehidupan masyarakat Indonesia. Begitu juga dengan dunia pendidikan. Guru pada masa Islam datang diambil alih oleh seorang ustad / sunan / susuhunan / kyai. Sama sebenarnya dengan masa Hindu-Budha, perbedaannya terletak pada siapa yang bisa menjadi guru. Masa Islam ini siapa saja bisa menjadi seorang guru tidak terikat pada status sosialnya. Yang terpenting adalah seorang guru mampu menguasai ilmu agama dan ilmu-ilmu lainnya. Budi pekerti masih menjadi topic dalam keseharian guru dalam mengajari murid-muridnya. Budi pekerti ini adalah pelajaran gabungan dari ilmu agama dengan tingkah laku. Guru menjadi sentral dari system pengajaran Islam saat itu. Penghormatan luar biasa kepada guru adalah hal wajar dan utama masa itu. Belajar perlu tempat khusus yakni sebuah pemondokan, yang lebih kita kenal dengan pondok pesantren. Perkembangan pondok pesantren masa ini sangat luar biasa berkembangnya. Perkembangan ini karena kharismatik dan kepintaran seorang guru sehingga banyak sekali santri-santri yang ingin menimba ilmu pada dirinya.
Abad ke 15 merubah semua kondisi pendidikan Indonesia. Hal ini ditandai dengan kedatangan bangsa Eropa ke Indonesia. Perubahan ini sangat terasa sekali karena system yang digunakan sangat bertentangan dengan ajaran kepribadian bangsa ini. Yang diperbolehkan sekolah hanya masyarakat yang status sosialnya tinggi. Guru juga diambilkan dari bangsa Eropa sendiri. Tetapi ada manfaat yang bisa dipetik dari system Eropa yang diterapkan ini, yakni kedisiplinan. Kedisiplinan adalah modal utama guru dalam mengajari siswanya. Menurut bangsa Eropa, belajar harus disiplin segalanya agar ketercapaian menyerap ilmu akan semakin mudah diterimanya. Guru sebagai sentral studi, harus mempunyai jiwa kedisiplinan yang tinggi. Sehingga profesi guru dipilih bukan seorang sembarangan.
Nah sampai pada masa kemerdekaan seperti saat ini, guru silih berganti mengalamai perubahan tujuan dan tuntutan. Guru tidak hanya dituntut pandai, disiplin, wibawa, tetapi juga sebagai contoh perilaku masyarakat sekitarnya. Tetapi masa sekarang guru bukan lagi sebagai profesi yang bonafit. Ketidak bonafitan ini dikarenakan tunjangan atau gaji sangat dibawah standart sebagai seorang profesional. Apalagi tingkat konsumtif masyarakat zaman sekarang sangat tinggi sekali. Tidak heran masyarakat memandang seorang guru sebagai profesi rendah. Tetapi dengan semangat pendahulu kita, guru harus mampu mengendalikan permasalahan masyarakat, disiplin, berwibawa, pandai, maka mari bangkitkan gairah tersebut. Selamat untuk kita semua.
*) Guru SDBI Al Hikmah Surabaya