Mohammad Efendi
Guru SDBI Al Hikmah Surabaya
Banyak orang beranggapan, mengajar bahasa Indonesia itu mudah. Proses belajarnya lancar, semulus perjalanan di jalan tol. Apalagi kondisi sekarang ini begitu mendukung penggunaan bahasa Indonesia. Di rumah, di sekolah, di jalan, sudah lazim bahasa Indonesia digunakan. Begitu derasnya penggunaan bahasa nasional ini, hingga Kepala Dinas Pendidikan Kota Surabaya, Pak Sahudi perlu memberikan edaran kepada sekolah tentang dua hari berbahasa Jawa di sekolah.
Sebuah upaya internal pendidikan agar bahasa daerah tak makin tergerus. Di lain pihak, dominannya bahasa Indonesia pada ranah-ranah berbahasa tadi, diakui memberi dampak positif bagi pembelajaran bahasa Indonesia: siswa terbiasa mempraktikkan bahasa Indonesia.
Selain hal tersebut, dapat diikutkan pula televisi sebagai alat penambah perbendaharaan kosakata siswa. Tak ada yang mengatakan bahwa siswa belajar bahasa Indonesia dari televisi, padahal sesunggguhnya, siswa dapat mendapat jimbunan kosakata dari kotak pandora ini. Saya teringat keponakan saya bertanya pada saya, “Om, terluka itu apa?” Bocah mungil yang duduk di TK nyeletuk bertanya saat tokoh cerita sinetron berujar, “Apakah mereka terluka?” Rupanya ia tak paham maksud kata berkata dasar “luka” ini.
Namun, keberpihakan suasana saat ini (untuk menggunakan bahasa Indonesia), boleh jadi tak berimbas sama sekali di bangku sekolah jika guru tak jeli dalam memola pembelajaran. Hal tersebut akan mubadzir, dan lenyap begitu saja jika guru masih tetap menomorsatukan membaca dan menulis sebagai isi pembelajaran bahasa. Padahal ada aspek lain yang juga perlu diasah lewat pembelajaran bahasa, yaitu keterampilan mendengar dan berbicara. Sebagai sebuah keterampilan dasar berbahasa, keempat keterampilan ini harus mendapatkan porsi asah (belajar) yang sama. Salah besar jika guru bahasa hanya mengajak anak didiknya membaca buku paket lalu mengerjakan soal saja. Apalagi sekarang tak terhitung banyaknya buku paket maupun buku soal latihan. Atau lebih fokus pada pengajaran mengarang dan tanda baca saja, karena itu yang keluar di ujian. Itu tidak patut dilakukan. Karena semangat pembelajaran bahasa adalah pengasahan empat keterampilan berbahasa secara berimbang: mendengar, berbicara, membaca, menulis.
Sebenarnya, empat keterampilan berbahasa tadi telah terwadahi dalam kurikulum. Namun, karena pola pembelajaran lebih tergantung pada “sang sopir”, maka semuanya tergantung pada kemauan guru dalam melaksanakan kurikulum. Jika sang guru mau melaksankannya, maka keterampilan siswa akan terasah secara berimbang, namun jika sebaliknya, keterampilan berbahasa akan menjadi “jomplang”.
Pada jenjang Sekolah Dasar, alokasi waktu yang disediakan untuk pelajaran bahasa Indonesia cukup ideal. Antara delapan sampai sepuluh jam pelajaran per minggunya. Ketersediaan waktu yang cukup luas ini sebenarnya merupakan tantangan bagi guru untuk memola pembelajaran yang kreatif dan rekreatif, dengan tetap berdasar pada kurikulum. Misalnya materi berwawancara dengan nara sumber. Mungkin cukup “memadahi” hanya dengan membaca buku paket, lalu menyimpulkan dan menjawab pertanyaan. Namun, jauh baik jika guru mengajak siswa untuk melajukan wawancara sederhana sungguhan. Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok, lalu mereka diminta untuk menentukan orang yang akan mereka wawancarai. Sebelum terjun ke lapangan, mereka menyiapkan alat yang diperlukan (tape recorder, notebook, pulpen) serta menyusun daftar partanyaan wawancara. Baru kemudian tiap kelompok membuat laporan dan mmpresentasikannya di kelas. Saat presentasi, kelompok yang lain dapat mengajukan pertanyaan. Pengajaran wawancara ini juga dapat didesain dengan menghadirkan nara sumber di kelas. Hal tersebut akan memberikan suasana berbeda dalam pengajaran bahasa.
Pembelajaran drama juga dapat diskenario dengan menarik. Setelah diajak berdiskusi tentang penulisan drama, anak-anak diminta untuk menyusun naskah drama sendiri dan mementaskannya. Tentunya mereka lebih dulu dikelompokkan dalam kelompok drama. Agar anak-anak mengenal cerita rakyat, guru mengundi beberapa judul cerita rakyat. Dengan demikian, judul cerita rakyat yang dibawakan tiap kelompok berbeda, jadi lebih bervariasi. Kelompok satu memmbuat drama “Sangkuriang”, yang lainnya mungkin “Legenda Danau Toba” atau “Batu Belah”. Biasanya, kegiatan ini tak akan selesai dalam satu pertemuan. Mungkin empat sampai lima pertemuan. Karena rangkaiannya cukup panjang. Mulai dari pembuatan kelompok, penentuan judul, dan penyusunan naskah drama. Dilanjutkan dengan latihan pentas drama dan pentas sungguhan.
Dalam pelaksanaanya pendampingan guru dituntut optimal. Karena ini berkaitan dengan sebuah proses kreatif yang bersifat individual. Selain itu, guru juga dituntut untuk menerapkan standar evaluasi yang sesuai. Dalam pembelajaran drama dengan skenario seperti ini, nilai dapat diambil dari (1) naskah drama; keterampilan menulis dan (2) pentas drama; mendengar, berbicara, membaca. Dengan demikian, semua aspek keterampilan berbahasa tertampung dalam pembelajaran dan evaluasi. Dan yang pasti, pembelajaran menjdi menarik dan tak membosankan.
Dengan mendesain pengajaran yang kreatif dan rekreatif siswa tak akan jenuh. Lain halnya jika siswa hanya dikungkung di kelas saja. Materinya pun hanya melulu yang ada di buku paket. Anak akan cepat bosan saat belajar. Dan kunci utama untuk mengubah itu semua adalah “sang guru”. Beliaulah yang dapat mengubah suasana bosan menjadi menyenangkan. Keadaan biasa menjadi menggembirakan. Dan tak ada salahnya sesekali guru mengeluarkan ice breaker agar siswa menjadi fresh kembali. Ice breaker tersebut dapat berupa permainan huruf, kata, game sederhana, atau cerita. Permainan huruf misalnya, menyusun kata sebanyak-banyaknya dari beberapa huruf yang ditulis guru dlam waktu satu menit. Game ini dapat diulang dua sampai tiga kali. Berdasar pengalaman, permainan ini tak butuh waktu lebih dari 5 menit. Siswa akan tampak bergairah kembali seusai permainan ini dan siap melanjutkan pelajaran. Ibarat sebuah perjalanan, ice breaker menjadi tempat beristirahat bagi otak siswa. Untuk selanjutnya berjalan lagi dengan kondisi yang bugar kembali.
Saat ini telah banyak berkembang model skenario pembelajaran. Di antaranya adalah aplikasi teori quantum. Pentahapannya meliputi Tumbuhkan, Alami, Namai, Demonstrasi, Ulangi, dan Rayakan. Pada Tumbuhkan: guru menumbuhkan minat siswa untuk mengikuti pembelajaran. Alami: siswa diberi kesempatan untuk mengalami hal yang akan dipelajari. Namai: siswa dengan dibimbing guru diajak untuk menemukan hasil pembelajaran. Demonstrasi: siswa diberi waktu untuk mendemonstrasikan hasil belajarnya. Ulangi: siswa dan guru mereview kembali proses dan hasil belajar yang telah mereka lakukan. Dan Rayakan: guru dan siswa merayakan keberhasilan mereka dalam mempelajari materi pelajaran. Rayakan daat berupa bernyanyi bersama, tepuk tangan, atau bentuk yang lainnya.
Sesungguhnya, skenario pembelajaran itu penting. Karena ia menjadi rel bagi kereta pembelajaran di kelas. Namun, yang lebih penting lagi adalah menumbuhkan niat memola pembelajaran kreatif dan rekreatif dalam diri guru. Karena semangat itulah yang akan mewarnai proses belajar yang ia lakukan, dan yang akan diterima siswa. Sebaik apapun skenario, jika “sang masinis” tak lagi punya keinginan untuk berubah, maka kebaikan itu hanya akan ada di kertas belaka. Dan tak akan teraplikasikan dalam kenyataan. efendialhikmah@yahoo.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar