Mohammad Efendi *)
Anak-anak kita yang duduk di bangku sekolah, harus siap-siap melahap pelajaran baru, yaitu Lalu Lintas. Karena kesepakatan ini telah diteken oleh pimpinan dua lembaga terkait, yakni M. Nuh selaku Menteri Pendidikan Nasional dan Kapolri Bambang Danuri beberapa waktu lalu di Jakarta. Masuknya pelajaran Lantas (lalu lintas) ini bertujuan untuk memberikan kesadaran sejak dini dalam berlalu lintas di jalan raya. Pasalnya, kecelakaan yang terjadi di negeri ini merupakan imbas dari minimnya kesadaran masyarakat dalam tertib lalu intas saat berkendara. Dengan masuknya Lantas menjadi bagian dalam kurikulum yang dimamah siswa, tertib lalu lintas di jalan menjadi lebih baik. Bahkan, kalau bisa, tuntas, tas!
Melengkapi alur pikir serupa dari para pemimpin kita, pada tahun pelajaran lalu pun, ada usulan memasukkan Antikorupsi dalam kurikulum. Alasannya, karena korupsi di negeri zamrud katulistiwa ini sudah menggurita. Seperti gurita raksasa yang tentakel-tentakelnya mencengkeram kuat persendian bangsa kita. Tumbuh subur layaknya jamur pada musim penghujan, tak hanya di lingkungan birokrat, dan lingkup bisnis yang dianggap lumrah melakukannya. Bahkan penegak hukumpun banyak yang terjerat kasus korupsi. Ini diperkuat dengan diungkapnya kasus korupsi yang melibatkan beberapa nama tenar negeri ini. Seperti Aulia Pohan, besan Presiden SBY sendiri.
Dan lagi-lagi, pendidikan dianggap jalan tol yang mampu menjadi solusi atas keruwetan solusi untuk mengatasi masalah-masalah tersebut. Atau menjadi tempat yang pantas untuk membuang masalah tersebut. Layaknya tempat sampah, tempat untuk membuang berbagai hal yang dianggap mengotori lingkungan. Hingga, nanti jika solusi ini tak juga manjur, ternyata masih banyak pelanggaran lalu lintas, korupsi juga tak juga berhenti, yang dipersalahkan adalah dunia pendidikan. Birokrat dan pengamat dengan gampang akan menjawab, “Ini akibat kegagalan pendidikan.”
Lepas dari itu semua, ada pertanyaan yang layak kita renungkan bersama. Pertama, Pertanyaannya, mengapa selalu kurikulum pendidikan yang selalu dianggap menjadi jalan keluar? Apakah setiap masalah akan selesai bila masalah tersebut telah tersampaikan kepada generasi kita melalui bangku sekolah?
Bila iya, sungguh kasihan anak-anak kita. Karena tiap waktu jumlah pelajaran yang akan mereka pelajari akan makin bertambah, seiring dengan bertambahnya masalah bangsa. Padahal waktu belajar di sekolah cenderung tetap. Antiteroris, misalnya, bukan tak mungkin akan diusulkan masuk daftar pelajaran sekolah, karena hingga kini negara kita masih rentan masalah ini. Reboisasi dan penghijauan, mungkin akan menyusul menjadi pelajaran sendiri, karena sampai sekarang pun negara kita cenderung membabat habis hutan, hingga bencana datang mendera. Disambung oleh pelajaran Antirokok. Karena ternyata berdasarkan penelitain, belanja rokok orang Indonesia bertengger di posisi kedua, setelah beras. Ini artinya, rokok bukan hanya membuat orang Indonesia rentan sakit pernapasan, juga memiskinkan. Dan tentu masih banyak lagi usulan-usulan lain, seperti gerbong kereta yang sambung menyambung, memenuhi buku catatan anak-anak kita.
Menurut saya, inilah buah dari kebingungan elit negeri ini dalam mengurai permasalahan bangsa guna menemukan solusinya. Demikian rumit dan kompleksnya permasalahan ini, hingga siapa pun sulit menandai, ini ujung masalah dan ini ekornya. Dan dari mana kerja bersih-bersih ini dimulai. Mereka masih bingung. Hingga akhirnya, sekolah kebagian peran ekstra untuk menanggung tanggung jawab tersebut.
Sebenarnya, pilihan untuk memasukkan materi-materi baru tersebut ke dalam kurikulum dapatlah dipahami sebagai langkah “membuka halaman baru.” Maksudnya, bila halaman-halaman sekarang sudah dipenuhi oleh orang-orang tua yang yang telah terkontaminasi oleh berbagai macam “kerusakan” ada baiknya halaman tersebut ditutup. Kerusakan yang dimaksud antara lain doyan korupsi, gemar melanggar lalu lintas, dan lain-lain. Lalu ganti membuka halaman baru, yang berisi generasi-generasi baru, yang masih relatif bisa dididik lebih baik, agar tidak membuat kerusakan seperti generasi sebelumnya. Dan media edukasi yang dikendalikan oleh pemerintah, adalah sekolah-sekolah formal baik negeri maupun swasta. Ibarat kata, yang lalu biar berlalu, yang baru mari buat lebih baik.
Bila program ini jadi meluncur ke sekolah, tantangan terbesarnya adalah bentuk penyajian ke hadapan siswa. Bila hanya sekadar siswa mendengar, mencatat, menghafalkan, dan dapat nilai seratus saat ulangan, program ini akan jauh panggang dari api. Sia-sia! Sama sia-sianya dengan pendidikan agama yang disampaikan mulai SD sampai SMA, kepada generasi sekarang, toh ternyata mereka tetap tega korupsi dan mencelakakan orang lain. Faktor utama kegagalan tersebut adalah kesalahan orientasi belajar. Siswa dianggap sukses bila dapat nilai bagus saat ulangan, bukan perubahan sikap ke arah positif. Oleh karena parameter keberhasilan program ini hendaknya bukan nilai ulangan, namun perubahan sikap siswa.
Dengan kata lain, lahan garapan program ini jangan hanya menjamah ranah kognitif dan psikomotor, namun juga afektif. Karena justru ranah ketiga, afektif, inilah yang sejatinya menjadi tolok ukur keberhasilan pendidikan. Karena ranah ini mewadahi sikap yang telah menjadi kebiasaan sehari-hari siswa. Bila ini ranah tertata dengan baik, maka dalam berlalu lintas, siswa akan terbiasa tertib berkendara di jalan raya. Mereka tertib bukan karena ada polisi, tapi karena sudah menjadi kebiasaan tertib berlalu lintas. Demikian pula hal yang lain. Bila ini dilakukan, progam ini akan membawa perubahan besar pada wajah generasi mendatang. Namun bila tidak, program ini ibarat sampah yang dibuang birokrat ke sekolah. Karena tak akan pernah menjadi solusi dari permasalahan yang dihadapi, bahkan makin memberatkan siswa dalam belajar. Karena pelajaran yang mesti dipelajari makin banyak.
Selain itu, ada hal lain yang hendaknya lebih ditekankan oleh pengambil kebijakan. Yaitu memberikan keteladanan kepada generasi muda. Karena sesungguhnya, keteladanan akan lebih menampakkan hasil nyata dibandingkan kampanye atau koar-koar ke sana ke mari. Dalam hal berlalu lintas di jalan raya misalnya, akan tampak kesetaraan di depan hukum bila semua orang taat berlalu lintas, tak peduli rakyat jelata maupun pejabat. Contoh nyata selama ini, adalah sering kali tampak arogannya iring-iringan pejabat yang melintas di jalan raya. Mulai dari ingin dinomorsatukan dengan meminggirkan pengguna jalan yang lain, sampai boleh melenggang meski lampu jelas menyala merah. Hal ini jelas menimbukan perasaan iri. Padahal mestinya ketaatan berlalu lintas mestinya dilakukan oleh semua, tanpa kecuali. Bila ada argumen yang menyanggah, “Mereka kan pejabat, mereka punya urusan penting.” Lha, apakah pengguna jalan yang lain tak punya tujuan dan alasan penting untuk dapat nyaman sampai ke tempat tujuan. Ini perlu direnungkan.
Keteladanan memang menjadi salah satu kunci untuk menjawab berbagai masalah yang kini mendera bangsa. Daripada hanya sekadar menggantungkan segantang harapan pada pendidikan kita yang seringkali tak sesuai antara harapan dan kenyataan, lebih baik mulai kini semua pihak menampilkan keteladan kepada lingkungan terdekatnya. Pejabat memberi teladan kepada rakyat. Pimpinan memberi teladan kepada anak buahnya. Orangtua, memberi teladan kepada anaknya. Hingga akhirnya, bila kedua hal ini berjalan beriringan, yaitu pembenahan afektif siswa di sekolah dan keteladan oleh lingkunggannya, maka generasi baru yang lebih baik akan segera terwujud. Semoga.
*) efendialhikmah@yahoo.co.id
Pengajar di Al Hikmah Full-day School Surabaya,
Visi & Misi
Menjadikan siswa berakhlak karimah, berprestasi akademik optimal.
Misi
Menjadikan lembaga pendidikan Islam yang layak dan mudah di contoh.
Sabtu, 27 Maret 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
kontak via email : sdalhikmah@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar